Wawasan
Nusantara
Pengertian wawasan Nusantara
Pengertian
wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan
lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Wawasan Nusantara
Negara
Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas dibandingkan
dengan Negara – Negara lain , yang terbentang mulai dari sabang sampai marauke
. Diapit oleh dua benua dan dua samudera yang memiliki 2 musim yaitu musim
penghujan dan musim kemarau ini memang Negara yang akan kekayaan daerahnya ,
lebih dari 300 suku tinggal di Indonesia mulai dari pelosok daerah hingga
perkotaan yang sekarang mulai tertinggal oleh zaman dan digantikan dengan
budaya barat . Hal ini juga
memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa yang
Multikultural (memiliki banyak suku) ,
mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat istiadat yang
berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian
dan cara berpikir yang berbeda-beda . Pada zaman dahulu Negara Indonesia untuk
menjadi sebuah negara yang merdeka dari semua penjajahan yang terjadi , Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk
dan pemerintah . Karena cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah
airnya sebagai negara kepulauan yang berdasarkan Pancasila maka semua aspek
kehidupan yang beragam mulai dari cara pandang bahasa , berpikir yang
berbeda-beda.
Pengertian
tentang Wawasan Nusantara itu sendiri adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan
menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.
Hakikat
wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara, dalam pengertian cara pandang yang
selalu utuh menyeluruh dalam lingkup Nusantara demi kepentingan Nasional. Hal
tersebut berarti bahwa setiap warga bangsa dan aparatur negara harus berpikir,
bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa dan
negara Indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negera
harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia, tanpa
menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan daerah, golongan dan
orang per orang.
Wawasan
Nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan
nasional, sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan
agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses.
Oleh karena itu diperlukan suatu konsepsi ketahanan Nasional yang sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia. Dan dapat dikatakan bahwa Wawasan Nusantara dan
ketahanan nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai
pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya
dan berkembang seterusnya.
Aspek kewilayahan nusantara
Pengaruh
geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena geografis
dari Indonesia, Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) seperti
tumbuh-tumbuhan topris, ikan-ikan, dan sebagainya.
Aspek sosial budaya
Indonesia
terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat,
bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda – beda, sehingga tata kehidupan
nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi
konflik yang besar.mengenai berbagai macam ragam budaya.
Fungsi Wawasan Nusantara
1.
Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara
dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.
2.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan
politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan
politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
3.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan
pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu
kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.
4.
Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam
pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga
Sejarah Nusantara
Sejarah
Nusantara dalam tulisan ini dimaknai sebagai catatan mengenai rangkaian
peristiwa yang terjadi di kepulauan antara Benua Asia dan Benua Australia
sebelum berdirinya Republik Indonesia. pada masa sebagian besar bagian dunia
masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya
berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di
wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh
air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung
berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat
di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera
dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda. Wilayah utama
daratan Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di EraMesozoikum
(250 juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempeng benua yang berbeda. Dua
bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat
Zaman Esterakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat
dan Paparan Sahul di timur.Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi
ruang di antara dua bagian benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh
para ahli biologi sekarang disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang
memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi dan geografi ini
berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk
hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempeng Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan,
dan Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi
kekayaan mineral bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian,
namun juga rawan gempa bumi. Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat
sebagian dasar laut ke atas mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang
kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan
mendapat penyinaran cahaya matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan
intensitas tinggi. Situasi ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya
keanekaragaman makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan
menjadi titik pertemuan dua samudera besar. Selat di antara dua bagian benua
(Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera Hindia ke Samudera
Pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang di wilayah ini merupakan
tempat dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kekayaan alam di darat dan
laut mewarnai kultur awal masyarakat penghuninya. Banyak di antara penduduk
asli yang hidup mengandalkan pada kekayaan laut dan membuat mereka memahami
navigasi pelayaran dasar, dan kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik
(Oseania).
Benua
Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan
faktor variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem
muson dengan akibat banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam
setahun. Sebagian besar wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan.
Bagi pelaut dikenal angin barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur.
Pada era perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal berlayar, pola angin
ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan. Dari sudut persebaran makhluk
hidup, wilayah ini merupakan titik pertemuan dua provinsi flora dan tipe fauna
yang berbeda, sebagai akibat proses evolusi yang berjalan terpisah, namun
kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari
ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di
timur memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk “jembatan” bagi
percampuran dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki tipe yang
khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana dari abad ke-19, seperti Alfred
Wallace, Max Carl Wilhelm Weber, dan Richard Lydecker. Berbeda dengan fauna,
sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih tercampur, bahkan membentuk suatu
provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe di India dan Asia Timur maupun
kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh botaniwan sebagai Malesia.
Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih jauh
dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia, Amerika, dan
Afrika pada masa sejarah.
“Nusantara” dan “Kepulauan
Melayu”
Literatur-literatur
Eropa berbahasa Inggris (lalu diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali
Belanda) pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah
kepulauan mulai dari Sumatera hingga Kepulauan Rempah-rempah (Maluku) sebagai
Malay Archipelago(“Kepulauan Melayu”)[3]. Istilah ini populer sebagai nama
geografis setelah Alfred Russel Wallace menggunakan istilah ini untuk karya
monumentalnya. Pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya tidak dimasukkan dalam
konsep “Malay Archipelago” karena penduduk aslinya tidak dihuni oleh cabang ras
Mongoloid sebagaimana Kepulauan Melayu dan secara kultural juga berbeda. Jelas
bahwa konsep “Kepulauan Melayu bersifat antropogeografis (geografi budaya).
Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar, lebih suka menggunakan istilah
“Kepulauan Hindia Timur” (Oost-Indische Archipel) atau tanpa embel-embel timur.
Ketika
“Nusantara” yang dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai nama politis
sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang Indonesia
untuk mengacu pada wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang berakhirnya
Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana wilayah Indonesia Raya yang
juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara[4].
Istilah “Nusantara” pun menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya,
berikut semangat kesamaan latar belakang asal-usul (Melayu) di antara penghuni
Kepulauan dan Semenanjung.
Pada
waktu negara Malaysia (1957) berdiri, semangat kebersamaan di bawah istilah
“Nusantara” tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang dibalut politik
Konfrontasi oleh Soekarno. Ketika permusuhan berakhir, pengertian Nusantara di
Malaysia tetap membawa semangat kesamaan rumpun. Sejak itu, pengertian
“Nusantara” bertumpang tindih dengan “Kepulauan Melayu”
BATAS WILAYAH INDONESIA
Batas
wilayah horizontal
•
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Wilayah
negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, Dalam
peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling
sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas
melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
•
Deklarasi Djuanda
yang
dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada
saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia
bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.Deklarasi Djuanda
menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan
(Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari
beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik
Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan
menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Menurut Deklarasi Djuanda
Batas luas laut Indonesia menjadi 3.200.000 km2, akibatnya luas wilayah
Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250
km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu
itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas
lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ),
terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya
dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982
(United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya
delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang
pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Pada tahun
1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari
Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI
Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan
nasional.
• United
Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS)
Laut
bebas/lepas berada di wilayah laut selain perairan pedalaman, perairan
kepulauan, perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Oleh
karena itu aturan dan hukum yang mengatur tentang laut bebas/lepas berada pada
suatu badan otorita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Salah
satu produk hukum yang mengatur tentang laut lepas yaitu United Nations
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut dan telah di tandatangani oleh 118 negara
termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
Konvensi ini merupakan kelanjutan dari Konvensi Jenewa tahun 1958 yang telah
menghasilkan 3 konvensi yaitu :
(1) Konvensi mengenai Pengambilan
Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas;
(2) Konvensi mengenai Dataran
Kontinental;
(3) Konvensi mengenai Laut Bebas.
Untuk melihat tanggapan Negara
dan Bangsa Indonesia tentang hasil-hasil konvensi tersebut dan kesusaian hukum
kepulauan dan perairan Indonesia serta sosialisasi kepada Negara dan Bangsa
Indonesia maka hasil konvensi tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi
(disahkan) dalam bentuk Undang-Undang Negara Republik Indonesia.
Hasil
ratifikasi Konvensi Jamaica 1982 tertuang di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On
The Law Of The Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.
Dalam UU No. 17 Tahun 1985 pada point Umum dijelaskan bahwa Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengatur rejim-rejim
hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya
tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut terdiri atas :
a.
Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada,
misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut
Teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut
yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi
maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958
tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah
kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini
dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara
hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its
landterritory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak
200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial
jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
c.
Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona
Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.
Untuk setiap zona maritim
Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur tentang
penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum yang
ditetapkan sebagai berikut:
1. Laut teritorial sebagai bagian
dari wilayah negara:12 mil-laut;
2. Zona tambahan dimana negara
memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;
3. Zona ekonomi eksklusif
(ZEE):200 mil-laut;
4. Landas kontinen: antara 200–350 mil-laut atau
sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter. Di samping itu
Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negara kepulauan juga berhak untuk menetapkan:
5. Perairan kepulauan pada sisi dalam dari
garis-garis pangkal kepulauannya;
6. Perairan pedalaman pada perairan
kepulauannya; (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).
KEDAULATAN WILAYAH UDARA
Untuk
membuat ketentuan-ketentuan hukum udara, maka para ahli hukum menggali
hukum-hukum lama yang pernah berlaku yang berhubungan dengan ruang udara dan
akhirnya diketemukannya suatu maxim (ketentuan lama) yang berlaku pada jaman
Romawi yang menyebutkan “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum”
yang dapat diartikan barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki
pula apa yang ada diatasnya dan juga yang ada dibawahnya serta tidak terbatas.
Maxim
tersebut menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli
hukum seperti :
1. Paul
Fauchille (1858-1926) dengan teorinya Air Freedom Theory menyebutkan bahwa
ruang udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara
bawah.
Teori
Paul Fauchille tersebut didasari oleh karena :
a. Sifat
udara adalah bebas.
b. Udara
adalah warisan seluruh umat manusia.
2. West
Lake dengan teorinya Air Sovereignty Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu
tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Untuk
menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah udara tersebut, maka pada tahun 1910
diadakan konperensi internasional (The International Conference on Air
Navigation) di kota Paris (Perancis) yang hanya dihadiri oleh 3 negara yaitu
negara Inggris, Jerman dan Perancis.
Delegasi
negara Inggris mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap
ruang udara yang ada diatasnya, delegasi negara Jerman mengusulkan bahwa negara
memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang dapat dikuasainya,
sedangkan delegasi negara Perancis mengusulkan bahwa ruang udara adalah bebas
dengan memperhatikan akan kepentingan keamanan negara, penduduk dan harta
benda, maka apabila dilihat usulan-usulan seperti tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi tidak adanya keseragaman pendapat di antara ke
tiga negara yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa konperensi tersebut mengalami
kegagalan.
Berakhirnya
Perang Dunia I, menimbulkan banyaknya negara-negara merasakan bahwa ruang udara
yang ada di atas negaranya harus bersifat tertutup, karena dengan adanya
pengalaman bahwa ruang udara dapat digunakan sebagai pintu masuk pesawat
militer dengan mudah untuk menyerang.
Pada
tahun 1919 kembali diadakan konperensi internasional di kota Paris (Perancis)
yang dihadiri oleh 31 negara yang hadir dan menghasilkan suatu konvensi yaitu
Convention Relating
to the
Regulation of Aerial Navigation 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi
Paris 1919.
Pada
Pasal 1 Konvensi Paris 1919 disebutkan bahwa setiap negara anggota mengakui hak
kedaulatan lengkap dan eksklusip di ruang udara di atas wilayahnya baik di
darat, laut wilayah maupun di negara kolonial (jajahan) nya.
Konvensi
ini mengalami kegagalan juga, karena belum mencapai jumlah ratifikasi seperti
yang ditentukan, dan ini juga dikarenakan hanya negara-negara anggota Konvensi
Paris 1919 saja yang diakui wilayah di ruang udara, sedangkan bagi
negara-negara yang bukan anggota konvensi ini tidak diakui memiliki wilayah di
ruang udara.
Untuk mengisi
kekosongan hukum yang mengatur mengenai kedaulatan negara di ruang udara, maka
pada tahun 1929 American Comunication Beaureau mengadakan pertemuan dan
menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengakui setiap negara memiliki wilayah di
ruang udara yang ada diatasnya.
Dengan
adanya kesepakatan ini menyebabkan semua negara di dunia merasa memiliki
kedaulatan di ruang udara, dan menjadikan ajaran Paul Fauchille dan Westlake
sepenuhnya tidak dapat dipertahankan, karena setiap negara memiliki kedaulatan
mutlak di ruang udara dengan memberikan kebebasan penerbangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar